Antologi Puisi - Maret 2025

Antologi Puisi - Maret 2025


Kami sangat terlambat menyadari, bahwa seuntai puisi tidak hanya datang dari sepasang perasaan manusia. Ia ada di depan mata, di mana-mana, dan menjelma apa saja. Di bulan ini, ada 16 yang kami tulis, berikut adalah 16 itu.

Konveksi Termal


kita menepi dari angin dan badai
duduk dan saling menatap di sebuah kedai
menceritakan tentang apa yang sudah
dan apa yang belum


sepasang anggur kau pesan
sebelum percakapan kita
hanya diwakili oleh gerak mata
yang diam-diam saling memohon
agar tidak kemana-mana


malam itu
pada akhirnya
kau membiarkan dua hal pergi:
aku, dan kehangatan dalam gelasmu

Fitting Kurva


engkau adalah seuntai kurva
yang diam-diam berusaha kuhampiri
dengan polinom-polinom berderajat
yang kususun sepanjang-panjangnya


semoga doamu tak pernah putus
dan selalu terdiferensialkan di segala orde
agar kita lebih dekat
melekat dengan hangat di sepanjang interval

Wisudalah, Fadli Lebih Suka Tidur


pagi-pagi sekali
seribu seratus sembilan sembilan orang
bercermin anggun dan berdandan rapi
kecuali Fadli
yang sibuk melarikan diri dalam mimpi


satu per satu orang disebut nama
mereka datang dan bertahta toga
kecuali Fadli Febriana
yang bersembunyi seolah tak bernama


semuanya dihadiahi kata-kata
medali, dan bunga-bunga juga mereka terima
sebagai tanda selesai
kerja keras dan usaha


selamat atas perayaan wisuda
kecuali fadli,
selamat atas perpisahanmu
dengan yang kaucinta

Pelaut Amatiran


ketika menatap wajahmu
jiwaku mengucap doa:
bismillahi majreha wa mursaha


seolah di kelopak matamu
samudera terbentang luas
dan lautan terhampar lepas


aku bergegas dan berkemas
menaik bahtera
dan menjadi seorang nahkoda
yang siap mengarungi keujudanmu


air matamu adalah hujan
dan tangisanmu adalah badai
namun ketika terseret gemuruh riaknya
aku tidak akan pernah lompat dari kapal


biarlah aku dan segala yang kubawa
mengalah dan berserah
pada ombak yang kau hembuskan


sebab tenggelam dalam kesedihanmu
adalah kematian yang paling aku tunggu

Cara Memasak Ketan Susu


bersihkan segenggam beras ketan putih
dengan air
yang mata airnya adalah air matamu


tiriskan dalam tempo waktu yang sama panjangnya
dengan keheningan di pertemuan terakhir kita


tuangkan satu sendok garam
segelas santan kelapa
dan sehelai daun pandan
untuk menjadikannya kaya akan rasa
seperti suka dan duka yang telah melewati kisahnya


tanak dengan api yang menyala-nyala
seperti amarah yang hampir memisahkan kita


jika sudah matang,
sajikan dengan susu yang kental.
sekental darah dan luka yang mengasingkan tatapan kita


sesegera mungkin harus dimakan
sebab jika didiamkan terlalu lama
ketan pun akan bertindak sebagai manusia
yang mengeras dan acuh disapa

Orang Payah


kita berdiri di persimpangan
aku melambaikan tangan dengan rapuh
sementara air matamu hampir mendidih


dunia mengutuk perbuatanku
hanya karena tangisanmu lebih kencang


semenjak hari itu
engkau tak berhenti melangkah
berbeda denganku
yang tak sanggup berpindah

Kenaifan Sedang Tutup


kemudian
kutemui seseorang setelah dirimu


banyak hal yang telah kami lalui
membicarankanmu salah satunya


kejahatanmu
keangkuhanmu
sikap egoismu
semuanya kedeskripsikan kepadanya
dengan rapih dan tanpa ampun


satu-satunya hal
yang kurahasiakan
adalah betapa indahnya cinta
yang pernah saling kita berikan

Lalay


Puisi buat Gibran.


dahulu
tidur kami diiringi pupuh kinanti
"budak leutik bisa ngapung..."
kini
hidup kami dibayang-bayangi ironi
"budak leutik bisa jadi wapres."

Mewakili Kehampaan


aku ingin mencuri
harta-harta dunia dan seisinya
dalam gelap
yang Tuhan pun tak mampu melihatnya


aku ingin merampas
hak-hak manusia rapuh
biarlah mereka menderita dan menjerit
lagipula, kematian akan menjemput
di sela-sela teriakannya


aku ingin menuliskan kembali
dalil-dalil negeri ini
dengan kalimatku sendiri
untuk memperkaya aku
dan meraih supremasi golonganku


tidak ada kebaikan
selain apa yang aku mau
tidak ada keadilan
selain apa yang aku inginkan


namun, aku tidak bisa melakukannya
karena jabatanku hanyalah seorang rakyat
bukan wakilnya

Hamba yang Ingin Menjadi Co-Author


di halaman selanjutnya
apakah nasibku lebih rapuh
dari kepayahanku di hari ini


pada paragraf berikutnya
apakah hujan kepedihan
masih akan mengguyur jiwaku


seharusnya
Engkau memberikan kesempatan
kepada orang-orang
untuk menuliskan takdirnya sendiri

Ibu Menduakan Tuhan


di suatu malam
ibu bertengkar dengan tanah
kepalanya berkali-kali membentur lantai


pada jeda benturannya
ibu menahan kepala dengan lama
berbisik pada sajadah
yang entah apakah bisa mendengarnya


kening ibu belum juga berdarah
namun air matanya mengucur
ke berbagai arah


di sela tangisannya
ibu berkata:
"Sesungguhnya solatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk anakku"


Ibu telah murtad
sebab ia menuhankan anaknya sendiri

Ketahanan Sandang


di sebuah butik
seorang anak menunjuk gaun tercantik
yang indah berkilau penuh manik-manik


tanpa menatap harga
sang ayah membawanya ke kassa
sebagai hadiah
atas tuntasnya dia berpuasa


sementara di luar
berdiri seorang gadis mungil
tubuhnya lusuh menggigil
memanggul sekarung penderitaan


kepada Ibunya, dia menggema:
"puasa kita lebih lama,
apakah baju baruku
lebih bagus darinya?"


sang Ibu menjawab:
"mereka berpuasa karena perintah Tuhan
sementara kita memang tak bertemu dengan makanan"


satu anak mendapat baju barunya
satu anak melanjutkan kelaparannya

Andai Mayit Berpuisi


aku ucapkan terima kasih
kepada para romobongan
yang menghantarkanku pulang


di perjalanan antara rumah ke rumah
suara kalian menggema
sementara aku hanya bisa membisu


langkah kaki dan kepergian sendal
menjadi pertanda
bahwa dunia sudah merelakanku untuk tiada


kini aku bersiap
menghadapi sesi wawancara
dua orang panelis akan bertanya
enam pertanyaan sudah ada kisi-kisinya


satu saja salah
maka sia-sia
hidupku selama di dunia

Idzaa Maatabna Adam


Jika seorang anak Adam meninggal dunia, maka akan terputus amalnya di dunia kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakannya.


aku terbaring
dalam kesunyian panjang
yang gelap dan sesak


dalam dinding tanpa celah
yang memisahkan "sementara" dengan "keabadian"


semasa hidup
aku jarang memberi
baik rezeki yang kupindah tangankan
atau ilmu yang seharusnya kualirkan
semuanya tertahan dalam kekufuran
yang membuat jasadku tertimbun penderitaan


dalam kesukaran yang tiada henti
sepucuk cahaya menghampiri
memberikan bahagia dan kelapangan
dua malaikat menjadi pewarta
bahwa ini adalah perkara yang ketiga
yaitu doa-doa panjang
dari anak-anak
yang memohon pengampunan

Belum Pulang


Ibu memasak banyak-banyak
tetapi aku menyantap piring restoran


Ibu merapihkan ranjang kamar
tetapi aku berbaring di rumah orang


Ibu membeli sepasang sajadah
tetapi aku bersujud di kota seberang


Ibu menggemakan takbir malam-malam
tetapi kesunyian menyelimuti bibirnya


pagi setelah lebaran
Ibu duduk di depan halaman
fajar menyium keningnya
tanah-tanah memeluk kaki rapuhnya


sepasang kaki yang mengandung sorga
tahun ini kering dan tandus
sebab tidak ada yang membasuhnya


anak IBu tidak pulang
ia menetap di tanah perantauan
terombang-ambing dalam petualangan
yang menjauhkannya dari hangat pelukan

Aku Belum Memaafkanku


selepas memaafkan semua orang
aku berdiri di hadapan cermin
menatap dengan perlahan
seseorang yang belum sempat kumaafkan


pertama-tama
aku berterima kasih kepadanya
atas kesanggupannya untuk tetap hidup
lebih lama dan lebih rumit
dari yang pernah kubayangkan


aku bertanya pelan-pelan
"sejauh ini, apa yang kurang dariku?"
dengan nada mengayun, dia menjawab
"engkau, jarang sekali memperhatikanku"


dunia berhenti sejenak
air mataku mengalir
sama deras dengan air matanya


di depan cermin retak
kami menangis bersama-sama




Puisi ditulis oleh Thoriq Al Mahdi

Orang di Masa Depan

Orang di Masa Depan

Orang di Masa Depan


Perihal dengan jatuh cinta di usia berkepala dua.
Apa yang ingin kita peroleh dari hubungan tersebut?
bukankah kita sudah pernah mendapatkan semuanya?
tawa bahagia , tangisan luka, kehangatan, kesedihan, 
bukankah hubungan sebelumnya sudah memberikan itu semua.

Lalu apa? apalagi yang ingin kita dapatkan?

kau memaksa hidupmu untuk bertemu dengan seseorang yang baru
padahal orang sebelumnya masih menjadi alasan engkau menangis di sepanjang malam.
ia tidak tergantikan, tidak dengan cara engkau yang mencari orang lain
untuk menutupi semua hal yang telah terjadi bersamanya.

usiamu sudah tidak lagi bagus untuk mengucapkan selamat pagi di sepanjang hari
atau mengulang-ulang kalimat berkali-kali kepada orang yang sama.
sungguh sudah bukan itu lagi yang seharusnya kau cari.

apa jangan-jangan kau akan membalaskan dendammu di masa lalu, kepada orang yang kau temui di masa depan?
jangan-jangan, luka yang selama ini kau rasakan, hendak kau bagi dua bersama orang itu?
terkutuklah perbuatan yang seperti demikian. 

orang selanjutnya dalam hidupmu, adalah orang yang tak berdosa atas kesalahanmu di masa lalu.
jika kau temui orang itu, maka berbuat baiklah. dan jadikan ia sebagai telaga.
sebab ia adalah mata air, yang datang kepadamu saat engkau letih dan kehausan 


--- 29 Januari 2025 // Cikutra



Dua Buah Bola Mata

Dua Buah Bola Mata

Dua Buah Bola Mata


Engkau adalah hutan dan lautan yang ingin sekali kupetualangi

maka dari itu, aku mulai belajar bahasa alam

aku belajar tentang arah mata angin

dan memahami waktu pergantian musim-musim

karena di matamu, sering terjadi badai tanpa awan mendung


sesekali juga aku belajar menyimpul tali

dan menelaah prinsip sudut elevasi

untuk berjaga-jaga dan berhati-hati

sebab engkau adalah ikatan dan ukuran yang sebentar akan kupahami


jalan masuk ke duniamu berpintukan dua buah bola mata

namun sial, ketika aku menatapnya

aku tersesat dan tenggelam tak terselamatkan


--- 15 Maret 24 // Bandung


Pesisir Perpisahan

Pesisir Perpisahan




Pesisir Perpisahan


di penghujung pekat malam yang sunyi 

kau serahkan segenap rasa tanpa ragu

kau hibahkan segumpal karsa dengan lugu


“Tuan, maukah kau menerimanya,

aku dengan berjuta masa laluku

ingin menumpang di perjalananmu.”


kemudian surya bercahaya di ufuk timur 

membentang di atas alismu yang tertidur

setengah sadar kau bertanya,

“di manakah kita?”

“di persimpangan menuju bahagia.”,  jawabku


perjalanan merambat waktu kita lanjutkan

musim gugur menghampiri

musim semi sebentar lagi

musim tangis kurasa akan datang


bau ombak mulai tercium 

suara kapal karam berbisik di antara tangis-tangis pasir pantai

“Tuan, sudah sampai mana kita.”

“Nona, turunlah, kita sudah sampai di pesisir perpisahan.”


--- 15 Oktober 2022 // BMS Raftel - Bandung

Teologi Anggur

Teologi Anggur


Teologi Anggur


marilah kita berdansa bersama anggur-anggur

meneguk bertetes-tetes fermentasinya dengan perlahan

menyusuri kilatan pikiran yang berlalu-lalang

kita pilah dan pilih jenis keharaman hidup

bahwasanya tiada perbedaan

antara meneguk anggur dan menatap mata perempuan

sama-sama mabuk dan menyengsarakan


marilah kita berdaulat bersama anggur-anggur

dengan otak kiri yang mengharap perubahan

dengan tangan kanan yang memegang tasbih

sementara otak kanan memikirkan payudara wanita

dan tangan kiri mencengkeram kawa-kawa


marilah kita merdeka bersama anggur-anggur

sebab konon katanya

sahabat kami

kakanda kami

mati di medan peperangan melawan anggur

mereka syahid.

karena di akhir hayatnya, mereka berteriak 

tajam dan memekik

"tiada anggur selain anggur"


--- 25 Desember 2023 // Dago - Bandung 

Mengubur Kepulangan

Mengubur Kepulangan


Mengubur Kepulangan

wahai gadis yang dengan bola matanya bulan terbelah
sejak perpisahan terucap di kematian petang
kata-kata harapku seribu kali berbisik pada kemalangan
merintih dan bertanya
kapan engkau pulang

wahai gadis yang dengan lembut suaranya lautan menggigil
barangkali engkau hendak kembali
ke rumah yang belum lama ini engkau singgahi
telah ku siapkan teras depan penuh burgundi
sebagai pelengkap upacara datangnya sang pujaan hati

wahai gadis yang dengan sesak tangisnya venus terjatuh
telah ku siapkan juga kubur di halaman belakang
untuk cintaku yang bunuh diri di kemudian hari
atau untuk kesalahpahaman kita yang hilang tanpa sakit hati

--- 02 Oktober 2022 // BMS Raftel - Bandung

Estimasi & Logika : Aksioma Masa Lalu #PDK

Estimasi & Logika : Aksioma Masa Lalu #PDK


Sekuntum mawar yang kutanam dalam sisa-sasa reruntuhan hatiku, kini mulai mekar kembali, berbunga dan harum berseri-seri, setelah tertimpa puing-puing masa lalu yang amat kelam, yang gelap terselimuti luka, serta penderitaan-penderitaan yang senantiasa menyayat hati. Sebelum masa itu terjadi, hari-hariku begitu sunyi dan sepi. Terombang-ambing pilu, terkunyah derita, tertimbun beban dan tertelan air mata.

Kini mawarku disemai oleh seorang lelaki, yang belum lama ini aku kagumi, namun sempat ku lupakan, karena tetap saja pada masa itu, aku selalu kalah oleh masa laluku. Jangankan untuk mendekat dan mencintai, saat itu, berkenalan dengan laki-laki adalah phobia bagi diriku sendiri.

Akan kuceritakan seseorang yang datang dengan kehampaan dan harapan, dengan rasa naif yang kadang tatapannya begitu dalam, orang yang labil akan pendirian, orang yang selalu ingkar, sekaligus orang yang sempat pernah aku sayangi, mengalahkan segalanya dan melebihi apapun, yang hidup dan berdiri di atas muka bumi ini.

Jum’at sore, di bawah kaki gunung Manglayang, diantara bukit-bukit kecil, aku berbagi sedikit kisah dengannya, mungkin satu dua paragraf akan menjadikanku lebih tenang dalam menceritakan sesuatu yang selalu saja mengganjal di hati dan pikiranku. Sebagai dua orang yang sama-sama kuliah di jurusan matematika, tentu saja bercerita dan mencoba peka terhadap masalah sosial adalah hal yang sedikit sulit, apalagi dalam persoalan cinta, yang kadang di luar nalar dan logika.

“Bagaimana masa lalumu ?”

Terlontar pertanyaan yang menuntut sebuah pernyataan dan pengakuan. Tetapi, bisa kumaklumi, karena begitulah cara matematika bertanya, tanpa lika-liku narasi, langsung ke tujuan dan inti. Namun terkadang jawaban dari pertanyaannya membutuhkan teorema pendahuluan, deskriftif pembuka, estimasi pengerjaan, aproksimasi fakta dan hasil simpulan sebagai penutup. 

Dengan rasionalitas akal, aku menangkap pertanyaannya, yang dia maksud adalah kehidupanku sebelum bertemu dengannya, seperti bersama siapa aku pernah bahagia, dengan cara apa aku bersedih, di mana aku menumpahkan tangisku dan oleh siapa aku disemai kembali.

“Dari mana harus kumulai ?”
“Dari yang paling patah”
“Apa maumu dari kisah yang nantinya kuceritakan?”
“Kuceritakan kembali”

Kala itu, Bandung terlalu dingin untuk percakapan kami yang terlanjur membeku. Namun ekspresi wajahnya begitu hangat dan tenang. Sebuah penantian, yaaa.. sebuah penantian akan kisahku. Itulah yang kubaca dari ekspresi raut wajahnya.

“Kenapa kau meminta cerita dari yang paling mematahkan hatiku ?”
“Biasanya luka dan derita akan mengubah jalan cerita”
“Cerita siapa?”
“Ceritamu, di bab selanjutnya”

Seakan sudah paham bahwa aku pernah rapuh dan runtuh, ia bertanya bak seperti seorang pengacara yang membutuhkan bukti dan fakta. Ia tahu aku pernah menderita, ia tahu aku pernah tersungkur tanpa rasa syukur, tergeletak tanpa detak, terkurung oleh waktu,terbelenggu ditakar nasib, merana terendam air mata, terluka dan tak berdaya. 

“Aku bakal cerita, tapi kayaknya ada beberapa kejadian yang udah lupa, jadi aku ceritain yang aku inget aja ya hehe”. 
“Iyaa inda”.
Inda, begitulah orang-orang memanggilku, termasuk dirinya, dipenggal dari namaku, Adinda Maharani Putri.
“Dengerin ya, jangan ngantuk tapi”.
“Iya”

Ia mengangguk seakan sudah siap mendengar segala pilu keluh kesahku. Matanya menyorot tajam ke pemandangan tepi kota, yang samar tertutup gumpalan kabut dan terbias oleh gemercik air hujan.
Kala itu, petang di barat Manglayang, aku bercerita.

 
Aksioma Masa Lalu
Pernah satu minggu aku menangis, dipatahkan oleh seorang lelaki yang ku kenal semenjak SMP, namanya Andi, aku membangun hubungan tanpa status dengannya selama 6 tahun. Selagi aku dekat dengannya, aku tidak menuntut menjadi pacarnya, asalkan dia ada untukku, aku menjamin setiap janji dan kesetiaanku. 

Sesekali di malam hari, aku mungkin sering tersadar, sebagaimana perempuan pada umumnya yang merasa cemburu apabila lelaki pujaannya dekat dengan perempuan lain, namun aku berbeda, aku sangat berbeda, aku merasa biasa saja, meskipun Andi berpacaran dengan bermacam-macam wanita, aku tetap menaruh hati padanya. Entah sampai kapan, dalam khayal dan mimpiku, yang kunantikan saat itu hanyalah dia yang pada akhirnya memilihku sebagai pelabuhan terakhir untuk hidup dan matinya, sebuah harapan klise yang selalu kumunajatkan. “Kau berharap pada dia, yang menaruh hatinya untuk orang lain”, sebuah nasehat yang seringkali terucap dari kawan baikku, Dea.

Namun apalah arti nasehat untuk orang yang mabuk asmara, sungguh tuak yang diracik oleh Andi sangatlah nikmat untuk diteguk dan dinikmati, walaupun hanya sebatas gombalan dan rayuan, tetap saja, aku mabuk, aku terbang, aku bahagia.

Selepas lulus SMA kami berpisah kota, ia tetap di Bandung, Aku berpulang ke rumah ibuku di Jogjakarta. Kami jauh, dipisahkan oleh jarak, dibatasi oleh waktu. Tetapi, seganas apapun prasangka menusuk pikiranku, aku hanya percaya bahwa Andi adalah tujuan hidupku. Kala itu, ya... waktu itu.
Menjalani hubungan LDWR (long distance without relationship) adalah ironi bagi mereka yang ingin memililiki hati orang lain yang hatinya untuk orang lain. Seperti burung camar yang sebelah sayapnya tertombak angin, aku berjalan di atas hari-hariku selama tiga tahun dengan perjuangan seorang diri, tanpa tahu apa yang sebenernya dirasakan Andi kala itu, apakah dia mencintaiku, apakah aku hanya selir dayangnya selagi ia marahan dengan permaisurinya, apakah aku hanya penjual bensin eceran, selagi ia belum menemukan SPBU terdekatnya, apakah aku hanya UIN selagi ia mencoba masuk ke UI. Entahlah, selama tiga tahun itu aku hanya berusaha mencintainya, semampuku, sekuat tenaga, hati dan pikiranku.
Pernah ia berkunjung ke rumahku, dipenghujung semester pertama tahun ketiga, setelah sekitar 2 setengah tahun tidak bertatap muka, hampir 27 bulan tidak bertukar canda dan lebih dari 760 hari tidak saling berbalas tawa. Sungguh momen tersebut adalah sebuah penantian panjang yang akhirnya datang, setelah sekian lama tidak bermuara, kini rinduku bertepi padanya. 

Di stasiun Lempuyangan, aku menghampiri raganya dengan tangis dan bahagia, dari kejauhan aku mengenal elok kepala sampai kakinya. Kusambut ia dengan lambayan tangan yang jemarinya seringkali kupakai mengusap basah pipiku di saat merindukannya, pada akhirnya aku paham, selain untuk makan dan mengusap air mata, jemariku berguna untuk menyambut dunia dan hari-hari setelah aku bertemu dengannya kembali.
Aku menghabiskan salah-satu hariku bersama Andi dengan pergi ke Pacitan, di bentangan pasir putih pesisir pantai, aku menari bersama senja merayakan kembalinya separuh sukmaku. Bola mataku menghadap langit, kucurahkan semua linangannya pada awan, seraya berkata, “Ini air mataku, ambilah. Jadikan hujan, dan turunkan tepat diatas kepalanya, agar ia tersadar, bahwa akulah satu-satunya yang menepi hingga mati, untuknya, hanya untuknya”.

Dari kejauhan aku melihatnya berdiam di bawah pohon, menatap layar handphone dan berbincang hangat lewat video call sambil berseri-seri, dalam benakku, “Ah mungkin saja itu kabar dari ibunya”. Aku berjalan merangkak diam-diam mendekatinya, perlahan seperti kura-kura dan tak terdengar seperti suara rakyat Indonesia. Jejak kakiku samar-samar, aku mencoba mengagetkannya dari belakang, tanpa ia sadari, kini aku yang berseri-seri.
Belum sampai aku mengucap sepatah dua kata, lagi-lagi luka mengubah tawaku menjadi duka, ah sial, ternyata itu bukan ibunya, itu wanita lain. 
Tidak, itu wanitanya, akulah yang wanita lain. 

Aku menjerit dan berlari kencang ke tepi karang, dalam benak, aku ingin berenang dan menjauh dari daratan luka ini, pergi ke samudera untuk menenggelamkan hidup bersama dukaku. Ah sial, kenapa... kenapa kau masih saja menusukku meskipun kita hanya berdua disini.
“Apakah belum puas kau di Bandung bersama mojang-mojangmu, apakah tak ada waktu yang kau sisihkan selama 2 tahun lebih ini untukku, walaupun hanya sebentar aku sangat mengharapkan itu, apa tujuanmu datang kesini? menghiburku atau menumpuk deritaku, bisa-bisanya kau menjamah bahagia dua wanita dalam satu jiwa. Aku pikir aku yang bahagia, di sini bersamamu, menikmati matahari tenggelam, angin pesisir pantai, pasir yang berbisik, karang yang bernyanyi dan pohon kelapa yang menari-nari. Apa yang kau inginkan dariku, Andiiii”.

Kuteriakkan semuanya pada laut, hingga semua sorot mata penghuni pesisir tertuju padaku. Tubuhku yang bergetar, menggigil dan lemas, terhempas oleh tangis dan derita, belum sempat aku tersungkur, aku ditopang dari belakang, yaa.. tentu saja, oleh penjaga pantai, bukan Andi.
Aku tidak tahu bagaimana caranya aku pulang pada waktu itu, tiba-tiba saja aku tergeletak di kamarku ketika bola mataku terbuka, dengan tangan kananku yang di usap oleh Andi, aku tersadar kembali. 

Haruskah aku menangis karena mengingat kejadian di pantai tadi, atau bahagia karena tanganku di pegang oleh Andi. Ataukah harus menangis lebih kencang karena esok Andi pulang, atau mungkin bahagia lebih ria karena Andi berbisik “Aku sayang kamu,Inda”, tepat di hadapan mata dan kepalaku.
Entahlah, aku bingung. Waktu itu, aku hanyalah si rapuh, yang sudah siap runtuh.

 

“Lalu bagaimana kelanjutannya?”
“Masih ada beberapa lagi, tetapi ini sudah mau masuk waktu magrib”
“Ya sudah, ayo pulang”
“Jadi, apa tanggapanmu?”
“Dimana akalmu”
“Hah?”
“Cinta dan kasih sayang kepada manusia yang belum sepenuhnya jadi milik kita itu perlu ditakar dan ditimbang, ikatan hanya menimbulkan keterikatan, dan pacaran hanya berujung pada pernikahan atau perpisahan. Pernikahan berujung pada kematian atau perceraian sedangkan perpisahan berujung pada perkawanan atau permusuhan. Entah bagaimana pola pikirmu kala itu, tetapi harus aku akui, kamu memang tulus, tapi bodoh.”
“Ya emangg hehe, makanya sekarang aku males sama laki-laki, semuanya sama aja, cuman bikin sakit hati”

 

Demikianlah akhir obrolan kami di sore itu, dari atas Manglayang, gemerlap lampu kota dan matahari yang pudar menjadi saksi bahwa pada akhirnya aku bisa merelakan Andi dan mampu melepasnya pergi.
Kini mungkin aku merasa nyaman dengannya, seseorang yang saat itu bersamaku, namun nampaknya ia mulai canggung dengan kalimat terakhir yang aku utarakan.

Oh iya, aku belum sempat menyebut namanya, orang yang mendengar ceritaku tadi adalah Tama, teman satu jurusanku di semester 3 ini. Aku tahu Tama suka padaku, teman satu kostnya sering memberitahuku jika Tama menyimpan foto-fotoku di galerinya, foto-foto tersebut kadang ia dapatkan ketika aku bersamanya, yang dipotret tanpa sepengetahuanku. Tetapi sesuai apa yang ia celotehkan padaku tadi, kali ini aku akan menakar dan menimbang seberapa dalam perasaannya padaku dengan Estimasi dan Logika, yang harusnya sudah kupakai dari dulu ketika bersama si playboy, Andi.

 

Selepas turun dari kaki bukit, aku dan Tama marangkak menyusuri gelapnya jalan setapak, tubuhnya yang lumayan tinggi seakan menjadi penopang dari riuhnya tiupan angin dan gemercik tetesan gerimis.

Langit Bandung sepertinya ikut muram mendengar kisahku tadi, kisah tentang sebuah kebodohan, harapan yang sia-sia, air mata yang menetes tanpa makna dan kesedihan yang selalu tak bermuara, itulah yang akhirnya kudapatkan dari 6 tahun bersama Andi. Semenjak dengannya, aku sudah bersumpah pada diriku sendiri tidak akan lagi memulainya dengan siapapun, sekeras apa perasaan meminta dan sedalam apa cinta menyetujuinya, aku sudah berjanji, bahwa aku akan sendiri, sampai nasib dan takdir mengakhiri, entah aku yang mati, atau ada laki-laki yang pada akhirnya mampu untuk meyakinkanku kembali.

“Besok kamu ada matkul apa Inda?”
“Kalkulus”
“Kalkulus berapa?”
“Ya kalkulus, semester 3”
“Kalkulusmu berbeda dengan kalkulusku, aku kan ngambil dua matkul kalkulus, kalkulus 1 dan Kalkulus peubah banyak”
“Oh iya hahahaha, makanya jangan bolos mulu, ngulangkan Kalkulus 1 nya.”
“Ya ngga apa-apa hehe, jadinya double kan dapet ilmunya”
“Terserah, Tama, hahaha” 
(aku berlari dan menari kegirangan di depannya).

Entah apa yang kurasakan saat berbincang dengannya, yang pasti aku selalu bahagia dan tertawa dibuatnya. Tama adalah orang yang mempunyai gaya khas tersendiri jika berbicara dengan wanita, seakan tiap kalimat yang ia lontarkan akan selalu tersambung pada kalimat berikutnya.
Seperti beberapa penggalan berikut, yang secara teratur dia kirim hampir di setiap malam menjelang  waktu tidur.

 

“Aku menunggumu sejak fajar menampakkan dirinya, sampai senja terbenam di selatan, namun tetap saja, kehadiranmu berkabut di antara selir angan-anganku”.
“Inda, jika selepas samudera bisa membuatku nyaman berenang di permukaannya, maka aku lebih memilih untuk menyelami air matamu, untuk menakar dalamnya jiwa dan perasaanmu, untuk menyatu bersama tawa dan tangismu”.
“Maka dengan puisi yang bagaimana lagi aku bisa merayumu, dan dengan kalimat bermajas yang mana aku bisa menundukkan segala cinta dan perasaanmu, terkadang saat kita bertegur sapa, aku sering plin-plan seperti musim gugur.”
- Emha Tama Manik




Namun ingin sekali aku berbisik padanya di kemudian hari, “Hai Tama, seuatas puisimu tidak akan pernah menjadikanku luluh, sepenggal baitmu tidak akan melunakkan hati dan perasaanku, jadi percuma saja, sajak-sajakmu hanya akan seperti kembang api, yang menghiburku untuk meledakkan dirinya sendiri”.

Tetapi, kalimat seperti demikian nampaknya belum pantas kulontarkan padanya, walaupun kita sudah kenal semenjak jadi Maba, hanya di minggu-minggu semester 3 ini kita saling bercengkrama dan bertatap muka.
Karena hari sudah semakin tua dan kendaraan umum sudah tiada, akhirnya dia memberanikan diri menghantarkanku pulang ke rumahku di Cimahi, walaupun aku sempat menolaknya tetapi Tama yang kadang dengan alibinya mampu memaksaku dengan halus untuk menyetujuinya.
Aku awalnya menolak Tama karena takut ia badmood bersamaku, Cibiru-Cimahi adalah rute paling menjenuhkan di Bandung, apalagi jika lewat jalan Soekarno-Hatta, sejujurnya kawan, kau bisa bermain ludo bersama temanmu di setiap lampu merahnya.
Namun selama di perjalanan, aku dibuat terkesima olehnya, bagaimana cara ia membuka obrolan, menyambung percakapan, mencari bahan candaan dan bahkan intermezo topik obrolan yang kadang membuatku senyum-senyum tidak karuan. 

Hingga pada akhirnya, kami menutup perjalanan pulang tersebut  dengan serak tawa dan ucapan sampai jumpa dengan isyarat dua bola mata, seraya berkata,
“Kabari aku jika sudah sampai, Tama”
“Aku mengabarimu di setiap saat Inda, mulai dari tetesan embun pagi pertama sampai menjelang waktu menutup mata, aku adalah kabar untukmu, aku ada dan tidak kemana-kama”.

Sambil berjalan dan terus memandanginya, kami tetap bertukar kata.

“Hari ini apa yang ingin kau impikan Tama”
“Apa saja, asal jangan Kalkulus” (sambil tersenyum)
“Memangnya kenapa”
“Kalkulus akan jadi mimpi burukmu malam ini Inda, aku tidak ingin kita memimpikan satu hal yang serupa di satu malam yang sama”
“Kalkulus mimpi burukku di setiap hari, hahaha” 
“Hahahaha”
Makin kukeraskan suaraku, karena jarak dan hembusan angin mulai menghalangi tutur kata kami berdua.
“Kenapa kita harus belajar kalkulus, Tama?” 
“Karena kalkulus selalu berbicara tentang taksiran, dugaan, hampiran, kemonotonan, pendekatan, perubahan, perpindahan, ketidakpastian dan ketiadaan. Begitu pula dengan hidup yang dipenuhi oleh prasangka, kejenuhan, harapan, kedewasaan dan bahkan kematian. Matematika adalah kalkulus dan kalkulus adalah kehidupan, perannya bukan hanya terletak pada hasil perhitungannya, tetapi juga dalam proses mencari jawabannya”.
“Jadi intinya apa, Tama?”
“Intinya, kita adalah kalkulus Inda, aku menghampiri dirimu dan terkadang engkau menduga diriku. Seiring waktu berjalan, kita adalah kurva tanpa fungsi, yang tidak tahu dari mana kita harus memulainya, di interval mana kita saling terbuka atau tertutup, pada waktu yang seperti apa kita saling monoton dan jenuh, dan di titik mana kita akan diskontinu yang hilang tanpa kabar, Kita adalah kalkulus Inda, hahaha”
Aku tersenyum, Tama pulang, dan harapan mulai terpancarkan.

Sejatinya Kalkulus adalah bidang yang mengutamakan kasus limit, turunan dan integral. Ketiganya adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, turunan menakar tentang perubahan dan gerak, sedangkan integral adalah taksiran dan luas, keduanya dibangun oleh satu konsep, yaitu limit.
Dosenku menjabarkan secara umum, bahwa limit adalah pendekatan, ketika titik dari suatu kurva ditelaah dari dua sisi, apakah sisi kanan dan sisi kiri sepakat, jika keduanya sepakat maka nilai limitnya ada, namun jika mereka bertentangan, maka nilai limitnya tidak terdefinisi.
Analogi seperti itulah yang kini kurasakan, ketika berhadapan dengan Tama, aku harus menimbang dari dua sisi sukmaku, apakah aku harus berpegang teguh dengan janjiku untuk berhenti dengan laki-laki, atau pasrah saja untuk mencoba sesuatu itu terulang kembali, entahlah, tetapi dalam bukunya, Edwin Purcell lebih mendahulukan bab estimasi dan logika ketimbang limit,turunan dan integral. Dengan kata lain, sebelum berhadapan dengan masalah-masalah baru yang barangkali lebih rumit, alangkah baiknya untuk memantapkan pikiran dan intuisi dengan logika dan estimasinya.

Sastra, Luka, & Matematika

Sastra, Luka, & Matematika


Aku mencintaimu

Seperti paradoks hotel hilbert

Yang akan selalu ada ruang singgah dalam hatiku

Bahkan untukmu yang hanya sekedar menepi dan rehat

Kupersiapkan segalanya dengan tepat

Dengan harapan, kau akan nyaman dan menetap

 

Aku mencintaimu

Seperti selang kemotonan

Yang tak pernah menjumpai titik yang bolong

Namun dengan tetap tabah melintas di antara interval kebimbangan

Dengan keyakinan, cinta kita akan segera dipertemukan

 

Aku mencintaimu

Seperti deret Taylor & McClaurin

Yang mengajariku akan sebuah arti pendekatan

Bahwasanya nilai kenyataan berasal dari hampiran-hampiran yang terus dilakukan

Sampai di  ketakhinggaan, sampai estimasi menjadi sebuah nilai pasti

 

Kau pernah menakar seberapa besar cintaku padamu

Dengan anzat apakah itu sepuluh, sembilan, delapan atau seratus

Maka dengan tegas kujawab kala itu

Tidak !! bukan sembilan bukan delapan, cintaku padamu itu seperti Pi

Walaupun nilainya terlihat kecil, namun ia tak berujung

Pada pertemuan hati kita yang pertama

Terisyaratkan sebuah wacana bahwa kita akan selalu besama

Saat itu, dengan manisnya kau berkata :

“Tenang saja, cintaku konstan, aku tidak akan kemana-mana,

sampai sukmaku keriput dan menua, kita akan tetap berdua”

 

Namun apa yang terjadi setelahnya,

Kau pergi meninggalkan janjimu yang lalu

Menyisakan puing-puing luka yang dikemudian disebut masa lalu

Melesat jauh tak terkejar seperti kurva eksponensial

Sedangkan aku ?

Aku meratap seperti sebuah titik yang terpisah dari kurvanya

Yang tak tahu harus dipetakan kemana

Yang terombang-ambing dalam luasnya kartesian

Mengemis iba dan rasa kasihan

Berharap kau kembali dari pelarianmu

Berharap kau pulang dan mendekap dalam pelukku

 

Sebuah harapan dan mimpi yang pernah kubayangkan sebelum kau pergi adalah

Mungkin kelak, Di masa depan sana

Kita berdua akan bercengkrama dalam satu atap yang sama

Menatap langit di depan teras rumah yang kita bangun berdua

Sembari menyelesaikan beberapa permasalahan matematik rumah tangga

 

 

Menjamin bahwa jendela sejajar dengan lemari kaca

Memastikan bahwa kanopi saling tegak lurus dengan pot bunga

Menata ulang agar televisi tidak bersinggungan dengan sofa

Dan menyisipkan tokoh matematika pada nama anak pertama kita

 

 

Namun apalah daya,

Perpisahan tetaplah perpisahan

Ia menyisakan luka dan juga penderitaan

Meninggalkan kenangan yang menjadi angan-angan

Menjadi formula untuk mempelajari masa depan

Menjadi landasan teori untuk memulai kisah yang akan terjadi

Dengan harapan, kesalahan tidak akan terulang kembali

 

Satu hal yang selalu kudoaakan tentangmu saat ini.

Aku berharap bahwa kau sedang berada di Sirkuit Hamilton

Sejauh apapun kau kau pergi

Meliak-liuk kesana dan kemari

Belok kanan, lurus, putar arah atau belok kiri

Tetap saja,

Titik asal adalah rumah dan tempatmu untuk kembali


--- Mei 2021 // Rumah - Karawang