Antologi Puisi - Mei 2025

Antologi Puisi - Mei 2025

Bulan ini sangat singkat dan sepi. Kami kehilangan telaga beserta dengan mata airnya. Ada lima puisi yang kami tulis. Berikut adalah kelima itu.


Ashar


engkau tiba

ketika sepenggal bayangan

sama panjang dengan semua yang ada


menjemputku dari kesibukan

yang memalingkanku sepanjang waktu


aku mengabaikan kehadiranmu

menunda bertemu denganmu

dan pura-pura engkau tak pernah memanggil

karena aku mengira

waktu akan memanjang tiba-tiba

bersamaan dengan matahari yang tergelincir

engkau pergi tanpa rasa khawatir


ketika langit-langit menjadi ungu

aku sudah kehilanganmu

dan segala yang aku miliki




~~~

Pesona Anti Rokok


ingin kuhembuskan berkali-kali

asap-asap kretek kering

di wajah mas-mas yang memesona itu


di telinganya

ingin kubisikan

getaran gurih tembakau yang terbakar api


semoga dia panjang umur

karena tak pernah berurusan dengan rokok

semoga aku juga panjang umur

karena memperpanjang hidup rokok


~~~


Dikotomi Asmara


seorang anak muda

dengan ayat-ayat tentang cinta

mengecup kening kekasihnya


satu dunia melihat dan memuji

"wah... mesra sekali kalian berdua"


anak muda yang lain

pergi ke seberang bundaran cibiru

dekat dengan polda

tak jauh dari kampus islam ternama

ia membeli sebotol air

yang cukainya membantu negara


belum habis ia meneguk

satu dunia sudah siap mengutuk

"dasar pemabuk !!!"


satu pemuda bermesraan dengan wanita

satu lagi dengan sebotol kawa-kawa

tetapi dunia

melihatnya dengan kaca mata yang berbeda


~~~


Telaga Winah


aku belum siap kehilanganmu

benar-benar belum


engkau adalah gerimis

yang gemercik airnya

menggelitik pundak dan kepalaku


tak pernah sekalipun

engkau menjadi hujan atau badai

wajahmu tetap teduh dalam setiap cakrawala

hangat dalam setiap malam


kini, ketika engkau sudah tiada

aku dan seluruhku menjadi kering dan tandus

merindukan sederet embun

yang pernah kausajikan di setiap pagi


~~~

Carcinoma Mammae


payudara Ibu

bergelantungan di dadanya

tempat aku tumbuh dan berteduh


ketika aku sudah tidak lagi pantas

untuk menghisap dan merabanya

Ibu semakin tua dan rapuh

lalu, dibawanya dia ke rumah sakit


dari bilik kamar yang hening

ketika Ibu tertidur pulas

dokter mencuri payudaranya

ia mencuri dengan susah payah

dengan jemari yang berdarah-darah


kuteriaki ia maling

tetapi Ibu berterima kasih kepadanya


kini Ibu semakin kurus kering

sama sepertiku waktu kecil

bedanya, Ibu tak lagi punya tempat

untuk tumbuh dan berteduh

~~~


Puisi ditulis oleh Thoriq Al Mahdi








Antologi Puisi - April 2025

Antologi Puisi - April 2025

April hampir begitu panjang. Ia bermula dengan kata maaf yang menggema di mana-mana.

An Introduction to Real Analysis


kita menari-nari di sebuah lapangan
yang begitu rapat dan panjang
melangkah dari nol sampai satu
melihat himpunan cantor berbaris
yang titiknya ada tak hingga
namun panjangnya tidak ada


engkau mengajakku menepi
pada suatu himpunan buka
namun kita tidak pernah sampai
di tepian itu


saat kita mendaki lembah weierstrass
yang begitu curam dan tajam
bola matamu berkedut dan ketakutan
"fungsi ini kontinu,
tetapi tidak pernah terdiferensialkan"


oh lihat itu !!
ekor dari barisan cauchy
kita mengikutinya sejauh mungkin
semakin jauh, semakin dekat
semakin dekat
sampai jemari kita kian melekat

Selamat Hari Buku


engkau menulis banyak hal
di hidup seseorang


meninggalkan luka dan kepedihan
yang kau tak sadari
hal itu pernah terjadi


kalimat-kalimatmu bergentayangan
menghantui ia sepanjang malam
menetap di hidup seseorang yang bisu
yang tak mampu menegur salahmu


halaman-halamannya terus bertambah
menyimpul sebuah buku panjang
yang hanya kau tulis
namun tak pernah kau baca


mungkin dengan sedikit maaf
dapat merubah alur ceritanya
namun sedikit maaf
tidak mengurangi tebal bukunya


sedikit maaf
hanya mengaburkan kata-kata pada halamannya

Selamat Hari Perempuan


aku ingin menjadi seorang perempuan
untuk mengenakan lipstik dan gaun-gaun cantik
meskipun di mata laki-laki
aku tetap kurang menarik


aku ingin menjadi perempuan
untuk merasakan gelisah tak tertahan
ketika melangkah di trotoar malam
sendiri dan gemetar
menunggu cahaya meredam ketakutan


aku ingin menjadi perempuan
agar bisa menjadi saksi abadi
kemesraan antara kapitalisme dan patriarki
yang membelengguku setiap hari


aku ingin menjadi perempuan
agar namaku disebut tiga kali
meskipun aku direndahkan berkali-kali


suaraku dianggap perlawanan
diamku disebut plin-plan
padahal dari rahimku
lahir budaya dan peradaban


aku
tidak bisa menjadi perempuan
sebab tidak punya keberanian
seperti yang dimiliki oleh seorang perempuan

Pergi dan Redup


aku telah berpaling dari matamu
mata yang begitu jahat
yang menjebakku dalam kepalsuan


aku telah meninggalkan senyummu
senyum yang begitu tragis
yang kerap membunuh harapan


ketika wajahmu sudah memudar
aku tidak akan pernah memungutnya lagi


meski di kemudian hari
kita tak sengaja saling bertatap
bukan berarti aku kalah
hanya saja
engkau adalah dunia
yang tak bisa aku sembunyikan
meski mataku terpejam


Izanami


kita bercengkrama
pada tatapan asing
yang mempertemukan kita


dan lalu berpisah
pada tatapan hampa
yang mengasingkan kita

Perjalanan di Bandung


aku menjumpaimu kembali


bersandar pada pundak
yang lebih kuat dariku
berteduh pada suara
yang lebih menerima jeritanmu


dahulu
percakapan kita membanjiri
jalan-jalan hangat seisi bandung


di setiap lampu merah
engkau berbisik tentang wacana rumah
di setiap persimpangan
engkau merangkai hidup dan masa depan
yang sekarang sudah kita lewatkan

Aster & Matahari


aster putih
dipetik di pinggir jalan
daun-daunnya gugur sepanjang jalan
jalan yang tak pernah sampai


matahari
cahayanya memeluk dari jauh
membelai ragu-ragu sebuah raga
raga yang sudah tidak utuh
raga yang hampir runtuh

Hawa


kepada perempuan
yang menjadikan kami hidup di bumi
bagaimana rasanya memahami
surga, Tuhan, dan laki-laki seorang diri?


kepada perempuan
yang dari rahimnya bermula perabadan.
mana yang lebih menyenangkan?
hidup sebagai tulang rusuk Adam
atau ditakdirkan menjadi pewaris kehidupan


kepada perempuan
yang paling awal menerima dosa dan murka Tuhan
tidak usah merasa bersalah
sebab yang demikian
memang sudah tergariskan


engkau adalah Ibu pertama
yang kedua bola matanya menangis dan menganga
menyaksikan kepergian dari anaknya


semoga kita bertemu kembali di surga
memakan buah khuldi
sebanyak-banyaknya
di hadapan Tuhan
yang membawamu ke dunia

Doa di Thaif


aku menatapnya
seorang laki-laki menjinjing kebenaran
memasuki gelap dan tanah penuh kesukaran


belum sempat ia berbagi cahaya
bebatuan menghujani tubuhnya
orang-orang mengusir dan memukuli
ia harus mati sebelum pulang


dalam lorong-lorong
ia dikeroyok oleh yang ia cintai
bertubi-tubi tanpa ampun


sepasang bantuan datang
gunung-gunung siap membela
tetapi ia berdoa
"asalkan Engkau wahai Tuhan,
tidak marah kepadaku,
kuterima segala nasibku di dunia"

Puisi yang Kabur


untuk puisi-puisi yang tak jadi kutulis
maaf telah menyembunyikanmu
dalam rasa khawatir dan takut
yang membuatmu terpendam dalam-dalam


engkau tersusun dengan buru-buru
dengan rasa marah yang tiba-tiba
dan bahagia yang singkat


suatu saat
kembalilah datang
aku akan menulismu lagi
dan berjanji membacamu berkali-kali

Melucuti Kata-Kata


kepada puisi yang sudah terlanjur kutulis
maaf telah memuntahkanmu sembarangan


membiarkanmu telanjang
dan disaksikan banyak orang


engkau tidak perlu pulang
bergentayanganlah dengan terang-terangan


tidak usah malu
jika kosa katamu terlalu baku
tidak usah gelisah
jika diksimu begitu payah


aku menulismu tidak untuk meraih nobel sastra
engkau adalah teman
dan kita sama-sama bisa berbicara


Ingatan yang Tak Pernah Rabun


hari ini
kaca mataku hancur
berkeping dan remuk tak tersisa


dunia begitu samar-samar
aku lupa dengan warna-warna
semua benda kutatap ragu-ragu
aku lupa dengan bentuk-bentuk
segalanya tampak tidak jelas


kecuali wajahmu
bola matamu
senyummu
dan alis kecilmu
yang setiap pikselnya masih kuingat
tersimpan dengan baik
di setiap sel-sel mataku

Akhirnya, Jaenuri Siap Diwisuda


aku mengenalnya sejak maba
banyak tingkah namun tidak memiliki aba-aba
ototnya kekar bertenaga
namun di hadapan perempuan
ia lemah tak berdaya


berbulan-bulan Jaenuri bertarung dengan skripsi
ia hampir mati berkali-kali
tetapi selalu selamat
lagi, lagi, dan lagi


kemarin
Jaenuri dibawa ke rumah sakit
dokter bertanya riwayat penyakit
aku menjawab:
kesurupan dan fanatik Persib


hidupnya dipenuhi oleh tiga hal
Henhen, Timnas, dan Menghina Towel


kini revisinya telah usai
ia siap untuk wisuda
memakai toga
melepasnya
berpisah dengan teman-teman
serta kenangan di dalamnya



Puisi ditulis oleh Thoriq Al Mahdi

Antologi Puisi - Maret 2025

Antologi Puisi - Maret 2025


Kami sangat terlambat menyadari, bahwa seuntai puisi tidak hanya datang dari sepasang perasaan manusia. Ia ada di depan mata, di mana-mana, dan menjelma apa saja. Di bulan ini, ada 16 yang kami tulis, berikut adalah 16 itu.

Konveksi Termal


kita menepi dari angin dan badai
duduk dan saling menatap di sebuah kedai
menceritakan tentang apa yang sudah
dan apa yang belum


sepasang anggur kau pesan
sebelum percakapan kita
hanya diwakili oleh gerak mata
yang diam-diam saling memohon
agar tidak kemana-mana


malam itu
pada akhirnya
kau membiarkan dua hal pergi:
aku, dan kehangatan dalam gelasmu

Fitting Kurva


engkau adalah seuntai kurva
yang diam-diam berusaha kuhampiri
dengan polinom-polinom berderajat
yang kususun sepanjang-panjangnya


semoga doamu tak pernah putus
dan selalu terdiferensialkan di segala orde
agar kita lebih dekat
melekat dengan hangat di sepanjang interval

Wisudalah, Fadli Lebih Suka Tidur


pagi-pagi sekali
seribu seratus sembilan sembilan orang
bercermin anggun dan berdandan rapi
kecuali Fadli
yang sibuk melarikan diri dalam mimpi


satu per satu orang disebut nama
mereka datang dan bertahta toga
kecuali Fadli Febriana
yang bersembunyi seolah tak bernama


semuanya dihadiahi kata-kata
medali, dan bunga-bunga juga mereka terima
sebagai tanda selesai
kerja keras dan usaha


selamat atas perayaan wisuda
kecuali fadli,
selamat atas perpisahanmu
dengan yang kaucinta

Pelaut Amatiran


ketika menatap wajahmu
jiwaku mengucap doa:
bismillahi majreha wa mursaha


seolah di kelopak matamu
samudera terbentang luas
dan lautan terhampar lepas


aku bergegas dan berkemas
menaik bahtera
dan menjadi seorang nahkoda
yang siap mengarungi keujudanmu


air matamu adalah hujan
dan tangisanmu adalah badai
namun ketika terseret gemuruh riaknya
aku tidak akan pernah lompat dari kapal


biarlah aku dan segala yang kubawa
mengalah dan berserah
pada ombak yang kau hembuskan


sebab tenggelam dalam kesedihanmu
adalah kematian yang paling aku tunggu

Cara Memasak Ketan Susu


bersihkan segenggam beras ketan putih
dengan air
yang mata airnya adalah air matamu


tiriskan dalam tempo waktu yang sama panjangnya
dengan keheningan di pertemuan terakhir kita


tuangkan satu sendok garam
segelas santan kelapa
dan sehelai daun pandan
untuk menjadikannya kaya akan rasa
seperti suka dan duka yang telah melewati kisahnya


tanak dengan api yang menyala-nyala
seperti amarah yang hampir memisahkan kita


jika sudah matang,
sajikan dengan susu yang kental.
sekental darah dan luka yang mengasingkan tatapan kita


sesegera mungkin harus dimakan
sebab jika didiamkan terlalu lama
ketan pun akan bertindak sebagai manusia
yang mengeras dan acuh disapa

Orang Payah


kita berdiri di persimpangan
aku melambaikan tangan dengan rapuh
sementara air matamu hampir mendidih


dunia mengutuk perbuatanku
hanya karena tangisanmu lebih kencang


semenjak hari itu
engkau tak berhenti melangkah
berbeda denganku
yang tak sanggup berpindah

Kenaifan Sedang Tutup


kemudian
kutemui seseorang setelah dirimu


banyak hal yang telah kami lalui
membicarankanmu salah satunya


kejahatanmu
keangkuhanmu
sikap egoismu
semuanya kedeskripsikan kepadanya
dengan rapih dan tanpa ampun


satu-satunya hal
yang kurahasiakan
adalah betapa indahnya cinta
yang pernah saling kita berikan

Lalay


Puisi buat Gibran.


dahulu
tidur kami diiringi pupuh kinanti
"budak leutik bisa ngapung..."
kini
hidup kami dibayang-bayangi ironi
"budak leutik bisa jadi wapres."

Mewakili Kehampaan


aku ingin mencuri
harta-harta dunia dan seisinya
dalam gelap
yang Tuhan pun tak mampu melihatnya


aku ingin merampas
hak-hak manusia rapuh
biarlah mereka menderita dan menjerit
lagipula, kematian akan menjemput
di sela-sela teriakannya


aku ingin menuliskan kembali
dalil-dalil negeri ini
dengan kalimatku sendiri
untuk memperkaya aku
dan meraih supremasi golonganku


tidak ada kebaikan
selain apa yang aku mau
tidak ada keadilan
selain apa yang aku inginkan


namun, aku tidak bisa melakukannya
karena jabatanku hanyalah seorang rakyat
bukan wakilnya

Hamba yang Ingin Menjadi Co-Author


di halaman selanjutnya
apakah nasibku lebih rapuh
dari kepayahanku di hari ini


pada paragraf berikutnya
apakah hujan kepedihan
masih akan mengguyur jiwaku


seharusnya
Engkau memberikan kesempatan
kepada orang-orang
untuk menuliskan takdirnya sendiri

Ibu Menduakan Tuhan


di suatu malam
ibu bertengkar dengan tanah
kepalanya berkali-kali membentur lantai


pada jeda benturannya
ibu menahan kepala dengan lama
berbisik pada sajadah
yang entah apakah bisa mendengarnya


kening ibu belum juga berdarah
namun air matanya mengucur
ke berbagai arah


di sela tangisannya
ibu berkata:
"Sesungguhnya solatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk anakku"


Ibu telah murtad
sebab ia menuhankan anaknya sendiri

Ketahanan Sandang


di sebuah butik
seorang anak menunjuk gaun tercantik
yang indah berkilau penuh manik-manik


tanpa menatap harga
sang ayah membawanya ke kassa
sebagai hadiah
atas tuntasnya dia berpuasa


sementara di luar
berdiri seorang gadis mungil
tubuhnya lusuh menggigil
memanggul sekarung penderitaan


kepada Ibunya, dia menggema:
"puasa kita lebih lama,
apakah baju baruku
lebih bagus darinya?"


sang Ibu menjawab:
"mereka berpuasa karena perintah Tuhan
sementara kita memang tak bertemu dengan makanan"


satu anak mendapat baju barunya
satu anak melanjutkan kelaparannya

Andai Mayit Berpuisi


aku ucapkan terima kasih
kepada para romobongan
yang menghantarkanku pulang


di perjalanan antara rumah ke rumah
suara kalian menggema
sementara aku hanya bisa membisu


langkah kaki dan kepergian sendal
menjadi pertanda
bahwa dunia sudah merelakanku untuk tiada


kini aku bersiap
menghadapi sesi wawancara
dua orang panelis akan bertanya
enam pertanyaan sudah ada kisi-kisinya


satu saja salah
maka sia-sia
hidupku selama di dunia

Idzaa Maatabna Adam


Jika seorang anak Adam meninggal dunia, maka akan terputus amalnya di dunia kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakannya.


aku terbaring
dalam kesunyian panjang
yang gelap dan sesak


dalam dinding tanpa celah
yang memisahkan "sementara" dengan "keabadian"


semasa hidup
aku jarang memberi
baik rezeki yang kupindah tangankan
atau ilmu yang seharusnya kualirkan
semuanya tertahan dalam kekufuran
yang membuat jasadku tertimbun penderitaan


dalam kesukaran yang tiada henti
sepucuk cahaya menghampiri
memberikan bahagia dan kelapangan
dua malaikat menjadi pewarta
bahwa ini adalah perkara yang ketiga
yaitu doa-doa panjang
dari anak-anak
yang memohon pengampunan

Belum Pulang


Ibu memasak banyak-banyak
tetapi aku menyantap piring restoran


Ibu merapihkan ranjang kamar
tetapi aku berbaring di rumah orang


Ibu membeli sepasang sajadah
tetapi aku bersujud di kota seberang


Ibu menggemakan takbir malam-malam
tetapi kesunyian menyelimuti bibirnya


pagi setelah lebaran
Ibu duduk di depan halaman
fajar menyium keningnya
tanah-tanah memeluk kaki rapuhnya


sepasang kaki yang mengandung sorga
tahun ini kering dan tandus
sebab tidak ada yang membasuhnya


anak IBu tidak pulang
ia menetap di tanah perantauan
terombang-ambing dalam petualangan
yang menjauhkannya dari hangat pelukan

Aku Belum Memaafkanku


selepas memaafkan semua orang
aku berdiri di hadapan cermin
menatap dengan perlahan
seseorang yang belum sempat kumaafkan


pertama-tama
aku berterima kasih kepadanya
atas kesanggupannya untuk tetap hidup
lebih lama dan lebih rumit
dari yang pernah kubayangkan


aku bertanya pelan-pelan
"sejauh ini, apa yang kurang dariku?"
dengan nada mengayun, dia menjawab
"engkau, jarang sekali memperhatikanku"


dunia berhenti sejenak
air mataku mengalir
sama deras dengan air matanya


di depan cermin retak
kami menangis bersama-sama




Puisi ditulis oleh Thoriq Al Mahdi