Sekuntum mawar yang kutanam dalam sisa-sasa reruntuhan hatiku, kini mulai mekar kembali, berbunga dan harum berseri-seri, setelah tertimpa puing-puing masa lalu yang amat kelam, yang gelap terselimuti luka, serta penderitaan-penderitaan yang senantiasa menyayat hati. Sebelum masa itu terjadi, hari-hariku begitu sunyi dan sepi. Terombang-ambing pilu, terkunyah derita, tertimbun beban dan tertelan air mata.
Kini mawarku disemai oleh seorang lelaki, yang belum lama ini aku kagumi, namun sempat ku lupakan, karena tetap saja pada masa itu, aku selalu kalah oleh masa laluku. Jangankan untuk mendekat dan mencintai, saat itu, berkenalan dengan laki-laki adalah phobia bagi diriku sendiri.
Akan kuceritakan seseorang yang datang dengan kehampaan dan harapan, dengan rasa naif yang kadang tatapannya begitu dalam, orang yang labil akan pendirian, orang yang selalu ingkar, sekaligus orang yang sempat pernah aku sayangi, mengalahkan segalanya dan melebihi apapun, yang hidup dan berdiri di atas muka bumi ini.
Jum’at sore, di bawah kaki gunung Manglayang, diantara bukit-bukit kecil, aku berbagi sedikit kisah dengannya, mungkin satu dua paragraf akan menjadikanku lebih tenang dalam menceritakan sesuatu yang selalu saja mengganjal di hati dan pikiranku. Sebagai dua orang yang sama-sama kuliah di jurusan matematika, tentu saja bercerita dan mencoba peka terhadap masalah sosial adalah hal yang sedikit sulit, apalagi dalam persoalan cinta, yang kadang di luar nalar dan logika.
“Bagaimana masa lalumu ?”
Terlontar pertanyaan yang menuntut sebuah pernyataan dan pengakuan. Tetapi, bisa kumaklumi, karena begitulah cara matematika bertanya, tanpa lika-liku narasi, langsung ke tujuan dan inti. Namun terkadang jawaban dari pertanyaannya membutuhkan teorema pendahuluan, deskriftif pembuka, estimasi pengerjaan, aproksimasi fakta dan hasil simpulan sebagai penutup.
Dengan rasionalitas akal, aku menangkap pertanyaannya, yang dia maksud adalah kehidupanku sebelum bertemu dengannya, seperti bersama siapa aku pernah bahagia, dengan cara apa aku bersedih, di mana aku menumpahkan tangisku dan oleh siapa aku disemai kembali.
“Dari mana harus kumulai ?”
“Dari yang paling patah”
“Apa maumu dari kisah yang nantinya kuceritakan?”
“Kuceritakan kembali”
Kala itu, Bandung terlalu dingin untuk percakapan kami yang terlanjur membeku. Namun ekspresi wajahnya begitu hangat dan tenang. Sebuah penantian, yaaa.. sebuah penantian akan kisahku. Itulah yang kubaca dari ekspresi raut wajahnya.
“Kenapa kau meminta cerita dari yang paling mematahkan hatiku ?”
“Biasanya luka dan derita akan mengubah jalan cerita”
“Cerita siapa?”
“Ceritamu, di bab selanjutnya”
Seakan sudah paham bahwa aku pernah rapuh dan runtuh, ia bertanya bak seperti seorang pengacara yang membutuhkan bukti dan fakta. Ia tahu aku pernah menderita, ia tahu aku pernah tersungkur tanpa rasa syukur, tergeletak tanpa detak, terkurung oleh waktu,terbelenggu ditakar nasib, merana terendam air mata, terluka dan tak berdaya.
“Aku bakal cerita, tapi kayaknya ada beberapa kejadian yang udah lupa, jadi aku ceritain yang aku inget aja ya hehe”.
“Iyaa inda”.
Inda, begitulah orang-orang memanggilku, termasuk dirinya, dipenggal dari namaku, Adinda Maharani Putri.
“Dengerin ya, jangan ngantuk tapi”.
“Iya”
Ia mengangguk seakan sudah siap mendengar segala pilu keluh kesahku. Matanya menyorot tajam ke pemandangan tepi kota, yang samar tertutup gumpalan kabut dan terbias oleh gemercik air hujan.
Kala itu, petang di barat Manglayang, aku bercerita.
Aksioma Masa Lalu
Pernah satu minggu aku menangis, dipatahkan oleh seorang lelaki yang ku kenal semenjak SMP, namanya Andi, aku membangun hubungan tanpa status dengannya selama 6 tahun. Selagi aku dekat dengannya, aku tidak menuntut menjadi pacarnya, asalkan dia ada untukku, aku menjamin setiap janji dan kesetiaanku.
Sesekali di malam hari, aku mungkin sering tersadar, sebagaimana perempuan pada umumnya yang merasa cemburu apabila lelaki pujaannya dekat dengan perempuan lain, namun aku berbeda, aku sangat berbeda, aku merasa biasa saja, meskipun Andi berpacaran dengan bermacam-macam wanita, aku tetap menaruh hati padanya. Entah sampai kapan, dalam khayal dan mimpiku, yang kunantikan saat itu hanyalah dia yang pada akhirnya memilihku sebagai pelabuhan terakhir untuk hidup dan matinya, sebuah harapan klise yang selalu kumunajatkan. “Kau berharap pada dia, yang menaruh hatinya untuk orang lain”, sebuah nasehat yang seringkali terucap dari kawan baikku, Dea.
Namun apalah arti nasehat untuk orang yang mabuk asmara, sungguh tuak yang diracik oleh Andi sangatlah nikmat untuk diteguk dan dinikmati, walaupun hanya sebatas gombalan dan rayuan, tetap saja, aku mabuk, aku terbang, aku bahagia.
Selepas lulus SMA kami berpisah kota, ia tetap di Bandung, Aku berpulang ke rumah ibuku di Jogjakarta. Kami jauh, dipisahkan oleh jarak, dibatasi oleh waktu. Tetapi, seganas apapun prasangka menusuk pikiranku, aku hanya percaya bahwa Andi adalah tujuan hidupku. Kala itu, ya... waktu itu.
Menjalani hubungan LDWR (long distance without relationship) adalah ironi bagi mereka yang ingin memililiki hati orang lain yang hatinya untuk orang lain. Seperti burung camar yang sebelah sayapnya tertombak angin, aku berjalan di atas hari-hariku selama tiga tahun dengan perjuangan seorang diri, tanpa tahu apa yang sebenernya dirasakan Andi kala itu, apakah dia mencintaiku, apakah aku hanya selir dayangnya selagi ia marahan dengan permaisurinya, apakah aku hanya penjual bensin eceran, selagi ia belum menemukan SPBU terdekatnya, apakah aku hanya UIN selagi ia mencoba masuk ke UI. Entahlah, selama tiga tahun itu aku hanya berusaha mencintainya, semampuku, sekuat tenaga, hati dan pikiranku.
Pernah ia berkunjung ke rumahku, dipenghujung semester pertama tahun ketiga, setelah sekitar 2 setengah tahun tidak bertatap muka, hampir 27 bulan tidak bertukar canda dan lebih dari 760 hari tidak saling berbalas tawa. Sungguh momen tersebut adalah sebuah penantian panjang yang akhirnya datang, setelah sekian lama tidak bermuara, kini rinduku bertepi padanya.
Di stasiun Lempuyangan, aku menghampiri raganya dengan tangis dan bahagia, dari kejauhan aku mengenal elok kepala sampai kakinya. Kusambut ia dengan lambayan tangan yang jemarinya seringkali kupakai mengusap basah pipiku di saat merindukannya, pada akhirnya aku paham, selain untuk makan dan mengusap air mata, jemariku berguna untuk menyambut dunia dan hari-hari setelah aku bertemu dengannya kembali.
Aku menghabiskan salah-satu hariku bersama Andi dengan pergi ke Pacitan, di bentangan pasir putih pesisir pantai, aku menari bersama senja merayakan kembalinya separuh sukmaku. Bola mataku menghadap langit, kucurahkan semua linangannya pada awan, seraya berkata, “Ini air mataku, ambilah. Jadikan hujan, dan turunkan tepat diatas kepalanya, agar ia tersadar, bahwa akulah satu-satunya yang menepi hingga mati, untuknya, hanya untuknya”.
Dari kejauhan aku melihatnya berdiam di bawah pohon, menatap layar handphone dan berbincang hangat lewat video call sambil berseri-seri, dalam benakku, “Ah mungkin saja itu kabar dari ibunya”. Aku berjalan merangkak diam-diam mendekatinya, perlahan seperti kura-kura dan tak terdengar seperti suara rakyat Indonesia. Jejak kakiku samar-samar, aku mencoba mengagetkannya dari belakang, tanpa ia sadari, kini aku yang berseri-seri.
Belum sampai aku mengucap sepatah dua kata, lagi-lagi luka mengubah tawaku menjadi duka, ah sial, ternyata itu bukan ibunya, itu wanita lain.
Tidak, itu wanitanya, akulah yang wanita lain.
Aku menjerit dan berlari kencang ke tepi karang, dalam benak, aku ingin berenang dan menjauh dari daratan luka ini, pergi ke samudera untuk menenggelamkan hidup bersama dukaku. Ah sial, kenapa... kenapa kau masih saja menusukku meskipun kita hanya berdua disini.
“Apakah belum puas kau di Bandung bersama mojang-mojangmu, apakah tak ada waktu yang kau sisihkan selama 2 tahun lebih ini untukku, walaupun hanya sebentar aku sangat mengharapkan itu, apa tujuanmu datang kesini? menghiburku atau menumpuk deritaku, bisa-bisanya kau menjamah bahagia dua wanita dalam satu jiwa. Aku pikir aku yang bahagia, di sini bersamamu, menikmati matahari tenggelam, angin pesisir pantai, pasir yang berbisik, karang yang bernyanyi dan pohon kelapa yang menari-nari. Apa yang kau inginkan dariku, Andiiii”.
Kuteriakkan semuanya pada laut, hingga semua sorot mata penghuni pesisir tertuju padaku. Tubuhku yang bergetar, menggigil dan lemas, terhempas oleh tangis dan derita, belum sempat aku tersungkur, aku ditopang dari belakang, yaa.. tentu saja, oleh penjaga pantai, bukan Andi.
Aku tidak tahu bagaimana caranya aku pulang pada waktu itu, tiba-tiba saja aku tergeletak di kamarku ketika bola mataku terbuka, dengan tangan kananku yang di usap oleh Andi, aku tersadar kembali.
Haruskah aku menangis karena mengingat kejadian di pantai tadi, atau bahagia karena tanganku di pegang oleh Andi. Ataukah harus menangis lebih kencang karena esok Andi pulang, atau mungkin bahagia lebih ria karena Andi berbisik “Aku sayang kamu,Inda”, tepat di hadapan mata dan kepalaku.
Entahlah, aku bingung. Waktu itu, aku hanyalah si rapuh, yang sudah siap runtuh.
“Lalu bagaimana kelanjutannya?”
“Masih ada beberapa lagi, tetapi ini sudah mau masuk waktu magrib”
“Ya sudah, ayo pulang”
“Jadi, apa tanggapanmu?”
“Dimana akalmu”
“Hah?”
“Cinta dan kasih sayang kepada manusia yang belum sepenuhnya jadi milik kita itu perlu ditakar dan ditimbang, ikatan hanya menimbulkan keterikatan, dan pacaran hanya berujung pada pernikahan atau perpisahan. Pernikahan berujung pada kematian atau perceraian sedangkan perpisahan berujung pada perkawanan atau permusuhan. Entah bagaimana pola pikirmu kala itu, tetapi harus aku akui, kamu memang tulus, tapi bodoh.”
“Ya emangg hehe, makanya sekarang aku males sama laki-laki, semuanya sama aja, cuman bikin sakit hati”
Demikianlah akhir obrolan kami di sore itu, dari atas Manglayang, gemerlap lampu kota dan matahari yang pudar menjadi saksi bahwa pada akhirnya aku bisa merelakan Andi dan mampu melepasnya pergi.
Kini mungkin aku merasa nyaman dengannya, seseorang yang saat itu bersamaku, namun nampaknya ia mulai canggung dengan kalimat terakhir yang aku utarakan.
Oh iya, aku belum sempat menyebut namanya, orang yang mendengar ceritaku tadi adalah Tama, teman satu jurusanku di semester 3 ini. Aku tahu Tama suka padaku, teman satu kostnya sering memberitahuku jika Tama menyimpan foto-fotoku di galerinya, foto-foto tersebut kadang ia dapatkan ketika aku bersamanya, yang dipotret tanpa sepengetahuanku. Tetapi sesuai apa yang ia celotehkan padaku tadi, kali ini aku akan menakar dan menimbang seberapa dalam perasaannya padaku dengan Estimasi dan Logika, yang harusnya sudah kupakai dari dulu ketika bersama si playboy, Andi.
Selepas turun dari kaki bukit, aku dan Tama marangkak menyusuri gelapnya jalan setapak, tubuhnya yang lumayan tinggi seakan menjadi penopang dari riuhnya tiupan angin dan gemercik tetesan gerimis.
Langit Bandung sepertinya ikut muram mendengar kisahku tadi, kisah tentang sebuah kebodohan, harapan yang sia-sia, air mata yang menetes tanpa makna dan kesedihan yang selalu tak bermuara, itulah yang akhirnya kudapatkan dari 6 tahun bersama Andi. Semenjak dengannya, aku sudah bersumpah pada diriku sendiri tidak akan lagi memulainya dengan siapapun, sekeras apa perasaan meminta dan sedalam apa cinta menyetujuinya, aku sudah berjanji, bahwa aku akan sendiri, sampai nasib dan takdir mengakhiri, entah aku yang mati, atau ada laki-laki yang pada akhirnya mampu untuk meyakinkanku kembali.
“Besok kamu ada matkul apa Inda?”
“Kalkulus”
“Kalkulus berapa?”
“Ya kalkulus, semester 3”
“Kalkulusmu berbeda dengan kalkulusku, aku kan ngambil dua matkul kalkulus, kalkulus 1 dan Kalkulus peubah banyak”
“Oh iya hahahaha, makanya jangan bolos mulu, ngulangkan Kalkulus 1 nya.”
“Ya ngga apa-apa hehe, jadinya double kan dapet ilmunya”
“Terserah, Tama, hahaha”
(aku berlari dan menari kegirangan di depannya).
Entah apa yang kurasakan saat berbincang dengannya, yang pasti aku selalu bahagia dan tertawa dibuatnya. Tama adalah orang yang mempunyai gaya khas tersendiri jika berbicara dengan wanita, seakan tiap kalimat yang ia lontarkan akan selalu tersambung pada kalimat berikutnya.
Seperti beberapa penggalan berikut, yang secara teratur dia kirim hampir di setiap malam menjelang waktu tidur.
“Aku menunggumu sejak fajar menampakkan dirinya, sampai senja terbenam di selatan, namun tetap saja, kehadiranmu berkabut di antara selir angan-anganku”.
“Inda, jika selepas samudera bisa membuatku nyaman berenang di permukaannya, maka aku lebih memilih untuk menyelami air matamu, untuk menakar dalamnya jiwa dan perasaanmu, untuk menyatu bersama tawa dan tangismu”.
“Maka dengan puisi yang bagaimana lagi aku bisa merayumu, dan dengan kalimat bermajas yang mana aku bisa menundukkan segala cinta dan perasaanmu, terkadang saat kita bertegur sapa, aku sering plin-plan seperti musim gugur.”
- Emha Tama Manik
Namun ingin sekali aku berbisik padanya di kemudian hari, “Hai Tama, seuatas puisimu tidak akan pernah menjadikanku luluh, sepenggal baitmu tidak akan melunakkan hati dan perasaanku, jadi percuma saja, sajak-sajakmu hanya akan seperti kembang api, yang menghiburku untuk meledakkan dirinya sendiri”.
Tetapi, kalimat seperti demikian nampaknya belum pantas kulontarkan padanya, walaupun kita sudah kenal semenjak jadi Maba, hanya di minggu-minggu semester 3 ini kita saling bercengkrama dan bertatap muka.
Karena hari sudah semakin tua dan kendaraan umum sudah tiada, akhirnya dia memberanikan diri menghantarkanku pulang ke rumahku di Cimahi, walaupun aku sempat menolaknya tetapi Tama yang kadang dengan alibinya mampu memaksaku dengan halus untuk menyetujuinya.
Aku awalnya menolak Tama karena takut ia badmood bersamaku, Cibiru-Cimahi adalah rute paling menjenuhkan di Bandung, apalagi jika lewat jalan Soekarno-Hatta, sejujurnya kawan, kau bisa bermain ludo bersama temanmu di setiap lampu merahnya.
Namun selama di perjalanan, aku dibuat terkesima olehnya, bagaimana cara ia membuka obrolan, menyambung percakapan, mencari bahan candaan dan bahkan intermezo topik obrolan yang kadang membuatku senyum-senyum tidak karuan.
Hingga pada akhirnya, kami menutup perjalanan pulang tersebut dengan serak tawa dan ucapan sampai jumpa dengan isyarat dua bola mata, seraya berkata,
“Kabari aku jika sudah sampai, Tama”
“Aku mengabarimu di setiap saat Inda, mulai dari tetesan embun pagi pertama sampai menjelang waktu menutup mata, aku adalah kabar untukmu, aku ada dan tidak kemana-kama”.
Sambil berjalan dan terus memandanginya, kami tetap bertukar kata.
“Hari ini apa yang ingin kau impikan Tama”
“Apa saja, asal jangan Kalkulus” (sambil tersenyum)
“Memangnya kenapa”
“Kalkulus akan jadi mimpi burukmu malam ini Inda, aku tidak ingin kita memimpikan satu hal yang serupa di satu malam yang sama”
“Kalkulus mimpi burukku di setiap hari, hahaha”
“Hahahaha”
Makin kukeraskan suaraku, karena jarak dan hembusan angin mulai menghalangi tutur kata kami berdua.
“Kenapa kita harus belajar kalkulus, Tama?”
“Karena kalkulus selalu berbicara tentang taksiran, dugaan, hampiran, kemonotonan, pendekatan, perubahan, perpindahan, ketidakpastian dan ketiadaan. Begitu pula dengan hidup yang dipenuhi oleh prasangka, kejenuhan, harapan, kedewasaan dan bahkan kematian. Matematika adalah kalkulus dan kalkulus adalah kehidupan, perannya bukan hanya terletak pada hasil perhitungannya, tetapi juga dalam proses mencari jawabannya”.
“Jadi intinya apa, Tama?”
“Intinya, kita adalah kalkulus Inda, aku menghampiri dirimu dan terkadang engkau menduga diriku. Seiring waktu berjalan, kita adalah kurva tanpa fungsi, yang tidak tahu dari mana kita harus memulainya, di interval mana kita saling terbuka atau tertutup, pada waktu yang seperti apa kita saling monoton dan jenuh, dan di titik mana kita akan diskontinu yang hilang tanpa kabar, Kita adalah kalkulus Inda, hahaha”
Aku tersenyum, Tama pulang, dan harapan mulai terpancarkan.
Sejatinya Kalkulus adalah bidang yang mengutamakan kasus limit, turunan dan integral. Ketiganya adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, turunan menakar tentang perubahan dan gerak, sedangkan integral adalah taksiran dan luas, keduanya dibangun oleh satu konsep, yaitu limit.
Dosenku menjabarkan secara umum, bahwa limit adalah pendekatan, ketika titik dari suatu kurva ditelaah dari dua sisi, apakah sisi kanan dan sisi kiri sepakat, jika keduanya sepakat maka nilai limitnya ada, namun jika mereka bertentangan, maka nilai limitnya tidak terdefinisi.
Analogi seperti itulah yang kini kurasakan, ketika berhadapan dengan Tama, aku harus menimbang dari dua sisi sukmaku, apakah aku harus berpegang teguh dengan janjiku untuk berhenti dengan laki-laki, atau pasrah saja untuk mencoba sesuatu itu terulang kembali, entahlah, tetapi dalam bukunya, Edwin Purcell lebih mendahulukan bab estimasi dan logika ketimbang limit,turunan dan integral. Dengan kata lain, sebelum berhadapan dengan masalah-masalah baru yang barangkali lebih rumit, alangkah baiknya untuk memantapkan pikiran dan intuisi dengan logika dan estimasinya.