Antologi Puisi - April 2025
Puisi Puisi 2025April hampir begitu panjang. Ia bermula dengan kata maaf yang menggema di mana-mana.
An Introduction to Real Analysis
kita menari-nari di sebuah lapangan
yang begitu rapat dan panjang
melangkah dari nol sampai satu
melihat himpunan cantor berbaris
yang titiknya ada tak hingga
namun panjangnya tidak ada
engkau mengajakku menepi
pada suatu himpunan buka
namun kita tidak pernah sampai
di tepian itu
saat kita mendaki lembah weierstrass
yang begitu curam dan tajam
bola matamu berkedut dan ketakutan
"fungsi ini kontinu,
tetapi tidak pernah terdiferensialkan"
oh lihat itu !!
ekor dari barisan cauchy
kita mengikutinya sejauh mungkin
semakin jauh, semakin dekat
semakin dekat
sampai jemari kita kian melekat
Selamat Hari Buku
engkau menulis banyak hal
di hidup seseorang
meninggalkan luka dan kepedihan
yang kau tak sadari
hal itu pernah terjadi
kalimat-kalimatmu bergentayangan
menghantui ia sepanjang malam
menetap di hidup seseorang yang bisu
yang tak mampu menegur salahmu
halaman-halamannya terus bertambah
menyimpul sebuah buku panjang
yang hanya kau tulis
namun tak pernah kau baca
mungkin dengan sedikit maaf
dapat merubah alur ceritanya
namun sedikit maaf
tidak mengurangi tebal bukunya
sedikit maaf
hanya mengaburkan kata-kata pada halamannya
Selamat Hari Perempuan
aku ingin menjadi seorang perempuan
untuk mengenakan lipstik dan gaun-gaun cantik
meskipun di mata laki-laki
aku tetap kurang menarik
aku ingin menjadi perempuan
untuk merasakan gelisah tak tertahan
ketika melangkah di trotoar malam
sendiri dan gemetar
menunggu cahaya meredam ketakutan
aku ingin menjadi perempuan
agar bisa menjadi saksi abadi
kemesraan antara kapitalisme dan patriarki
yang membelengguku setiap hari
aku ingin menjadi perempuan
agar namaku disebut tiga kali
meskipun aku direndahkan berkali-kali
suaraku dianggap perlawanan
diamku disebut plin-plan
padahal dari rahimku
lahir budaya dan peradaban
aku
tidak bisa menjadi perempuan
sebab tidak punya keberanian
seperti yang dimiliki oleh seorang perempuan
Pergi dan Redup
aku telah berpaling dari matamu
mata yang begitu jahat
yang menjebakku dalam kepalsuan
aku telah meninggalkan senyummu
senyum yang begitu tragis
yang kerap membunuh harapan
ketika wajahmu sudah memudar
aku tidak akan pernah memungutnya lagi
meski di kemudian hari
kita tak sengaja saling bertatap
bukan berarti aku kalah
hanya saja
engkau adalah dunia
yang tak bisa aku sembunyikan
meski mataku terpejam
Izanami
kita bercengkrama
pada tatapan asing
yang mempertemukan kita
dan lalu berpisah
pada tatapan hampa
yang mengasingkan kita
Perjalanan di Bandung
aku menjumpaimu kembali
bersandar pada pundak
yang lebih kuat dariku
berteduh pada suara
yang lebih menerima jeritanmu
dahulu
percakapan kita membanjiri
jalan-jalan hangat seisi bandung
di setiap lampu merah
engkau berbisik tentang wacana rumah
di setiap persimpangan
engkau merangkai hidup dan masa depan
yang sekarang sudah kita lewatkan
Aster & Matahari
aster putih
dipetik di pinggir jalan
daun-daunnya gugur sepanjang jalan
jalan yang tak pernah sampai
matahari
cahayanya memeluk dari jauh
membelai ragu-ragu sebuah raga
raga yang sudah tidak utuh
raga yang hampir runtuh
Hawa
kepada perempuan
yang menjadikan kami hidup di bumi
bagaimana rasanya memahami
surga, Tuhan, dan laki-laki seorang diri?
kepada perempuan
yang dari rahimnya bermula perabadan.
mana yang lebih menyenangkan?
hidup sebagai tulang rusuk Adam
atau ditakdirkan menjadi pewaris kehidupan
kepada perempuan
yang paling awal menerima dosa dan murka Tuhan
tidak usah merasa bersalah
sebab yang demikian
memang sudah tergariskan
engkau adalah Ibu pertama
yang kedua bola matanya menangis dan menganga
menyaksikan kepergian dari anaknya
semoga kita bertemu kembali di surga
memakan buah khuldi
sebanyak-banyaknya
di hadapan Tuhan
yang membawamu ke dunia
Doa di Thaif
aku menatapnya
seorang laki-laki menjinjing kebenaran
memasuki gelap dan tanah penuh kesukaran
belum sempat ia berbagi cahaya
bebatuan menghujani tubuhnya
orang-orang mengusir dan memukuli
ia harus mati sebelum pulang
dalam lorong-lorong
ia dikeroyok oleh yang ia cintai
bertubi-tubi tanpa ampun
sepasang bantuan datang
gunung-gunung siap membela
tetapi ia berdoa
"asalkan Engkau wahai Tuhan,
tidak marah kepadaku,
kuterima segala nasibku di dunia"
Puisi yang Kabur
untuk puisi-puisi yang tak jadi kutulis
maaf telah menyembunyikanmu
dalam rasa khawatir dan takut
yang membuatmu terpendam dalam-dalam
engkau tersusun dengan buru-buru
dengan rasa marah yang tiba-tiba
dan bahagia yang singkat
suatu saat
kembalilah datang
aku akan menulismu lagi
dan berjanji membacamu berkali-kali
Melucuti Kata-Kata
kepada puisi yang sudah terlanjur kutulis
maaf telah memuntahkanmu sembarangan
membiarkanmu telanjang
dan disaksikan banyak orang
engkau tidak perlu pulang
bergentayanganlah dengan terang-terangan
tidak usah malu
jika kosa katamu terlalu baku
tidak usah gelisah
jika diksimu begitu payah
aku menulismu tidak untuk meraih nobel sastra
engkau adalah teman
dan kita sama-sama bisa berbicara
Ingatan yang Tak Pernah Rabun
hari ini
kaca mataku hancur
berkeping dan remuk tak tersisa
dunia begitu samar-samar
aku lupa dengan warna-warna
semua benda kutatap ragu-ragu
aku lupa dengan bentuk-bentuk
segalanya tampak tidak jelas
kecuali wajahmu
bola matamu
senyummu
dan alis kecilmu
yang setiap pikselnya masih kuingat
tersimpan dengan baik
di setiap sel-sel mataku
Akhirnya, Jaenuri Siap Diwisuda
aku mengenalnya sejak maba
banyak tingkah namun tidak memiliki aba-aba
ototnya kekar bertenaga
namun di hadapan perempuan
ia lemah tak berdaya
berbulan-bulan Jaenuri bertarung dengan skripsi
ia hampir mati berkali-kali
tetapi selalu selamat
lagi, lagi, dan lagi
kemarin
Jaenuri dibawa ke rumah sakit
dokter bertanya riwayat penyakit
aku menjawab:
kesurupan dan fanatik Persib
hidupnya dipenuhi oleh tiga hal
Henhen, Timnas, dan Menghina Towel
kini revisinya telah usai
ia siap untuk wisuda
memakai toga
melepasnya
berpisah dengan teman-teman
serta kenangan di dalamnya
Puisi ditulis oleh Thoriq Al Mahdi