Antologi Puisi - Maret 2025

Antologi Puisi - Maret 2025


Kami sangat terlambat menyadari, bahwa seuntai puisi tidak hanya datang dari sepasang perasaan manusia. Ia ada di depan mata, di mana-mana, dan menjelma apa saja. Di bulan ini, ada 16 yang kami tulis, berikut adalah 16 itu.

Konveksi Termal


kita menepi dari angin dan badai
duduk dan saling menatap di sebuah kedai
menceritakan tentang apa yang sudah
dan apa yang belum


sepasang anggur kau pesan
sebelum percakapan kita
hanya diwakili oleh gerak mata
yang diam-diam saling memohon
agar tidak kemana-mana


malam itu
pada akhirnya
kau membiarkan dua hal pergi:
aku, dan kehangatan dalam gelasmu

Fitting Kurva


engkau adalah seuntai kurva
yang diam-diam berusaha kuhampiri
dengan polinom-polinom berderajat
yang kususun sepanjang-panjangnya


semoga doamu tak pernah putus
dan selalu terdiferensialkan di segala orde
agar kita lebih dekat
melekat dengan hangat di sepanjang interval

Wisudalah, Fadli Lebih Suka Tidur


pagi-pagi sekali
seribu seratus sembilan sembilan orang
bercermin anggun dan berdandan rapi
kecuali Fadli
yang sibuk melarikan diri dalam mimpi


satu per satu orang disebut nama
mereka datang dan bertahta toga
kecuali Fadli Febriana
yang bersembunyi seolah tak bernama


semuanya dihadiahi kata-kata
medali, dan bunga-bunga juga mereka terima
sebagai tanda selesai
kerja keras dan usaha


selamat atas perayaan wisuda
kecuali fadli,
selamat atas perpisahanmu
dengan yang kaucinta

Pelaut Amatiran


ketika menatap wajahmu
jiwaku mengucap doa:
bismillahi majreha wa mursaha


seolah di kelopak matamu
samudera terbentang luas
dan lautan terhampar lepas


aku bergegas dan berkemas
menaik bahtera
dan menjadi seorang nahkoda
yang siap mengarungi keujudanmu


air matamu adalah hujan
dan tangisanmu adalah badai
namun ketika terseret gemuruh riaknya
aku tidak akan pernah lompat dari kapal


biarlah aku dan segala yang kubawa
mengalah dan berserah
pada ombak yang kau hembuskan


sebab tenggelam dalam kesedihanmu
adalah kematian yang paling aku tunggu

Cara Memasak Ketan Susu


bersihkan segenggam beras ketan putih
dengan air
yang mata airnya adalah air matamu


tiriskan dalam tempo waktu yang sama panjangnya
dengan keheningan di pertemuan terakhir kita


tuangkan satu sendok garam
segelas santan kelapa
dan sehelai daun pandan
untuk menjadikannya kaya akan rasa
seperti suka dan duka yang telah melewati kisahnya


tanak dengan api yang menyala-nyala
seperti amarah yang hampir memisahkan kita


jika sudah matang,
sajikan dengan susu yang kental.
sekental darah dan luka yang mengasingkan tatapan kita


sesegera mungkin harus dimakan
sebab jika didiamkan terlalu lama
ketan pun akan bertindak sebagai manusia
yang mengeras dan acuh disapa

Orang Payah


kita berdiri di persimpangan
aku melambaikan tangan dengan rapuh
sementara air matamu hampir mendidih


dunia mengutuk perbuatanku
hanya karena tangisanmu lebih kencang


semenjak hari itu
engkau tak berhenti melangkah
berbeda denganku
yang tak sanggup berpindah

Kenaifan Sedang Tutup


kemudian
kutemui seseorang setelah dirimu


banyak hal yang telah kami lalui
membicarankanmu salah satunya


kejahatanmu
keangkuhanmu
sikap egoismu
semuanya kedeskripsikan kepadanya
dengan rapih dan tanpa ampun


satu-satunya hal
yang kurahasiakan
adalah betapa indahnya cinta
yang pernah saling kita berikan

Lalay


Puisi buat Gibran.


dahulu
tidur kami diiringi pupuh kinanti
"budak leutik bisa ngapung..."
kini
hidup kami dibayang-bayangi ironi
"budak leutik bisa jadi wapres."

Mewakili Kehampaan


aku ingin mencuri
harta-harta dunia dan seisinya
dalam gelap
yang Tuhan pun tak mampu melihatnya


aku ingin merampas
hak-hak manusia rapuh
biarlah mereka menderita dan menjerit
lagipula, kematian akan menjemput
di sela-sela teriakannya


aku ingin menuliskan kembali
dalil-dalil negeri ini
dengan kalimatku sendiri
untuk memperkaya aku
dan meraih supremasi golonganku


tidak ada kebaikan
selain apa yang aku mau
tidak ada keadilan
selain apa yang aku inginkan


namun, aku tidak bisa melakukannya
karena jabatanku hanyalah seorang rakyat
bukan wakilnya

Hamba yang Ingin Menjadi Co-Author


di halaman selanjutnya
apakah nasibku lebih rapuh
dari kepayahanku di hari ini


pada paragraf berikutnya
apakah hujan kepedihan
masih akan mengguyur jiwaku


seharusnya
Engkau memberikan kesempatan
kepada orang-orang
untuk menuliskan takdirnya sendiri

Ibu Menduakan Tuhan


di suatu malam
ibu bertengkar dengan tanah
kepalanya berkali-kali membentur lantai


pada jeda benturannya
ibu menahan kepala dengan lama
berbisik pada sajadah
yang entah apakah bisa mendengarnya


kening ibu belum juga berdarah
namun air matanya mengucur
ke berbagai arah


di sela tangisannya
ibu berkata:
"Sesungguhnya solatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk anakku"


Ibu telah murtad
sebab ia menuhankan anaknya sendiri

Ketahanan Sandang


di sebuah butik
seorang anak menunjuk gaun tercantik
yang indah berkilau penuh manik-manik


tanpa menatap harga
sang ayah membawanya ke kassa
sebagai hadiah
atas tuntasnya dia berpuasa


sementara di luar
berdiri seorang gadis mungil
tubuhnya lusuh menggigil
memanggul sekarung penderitaan


kepada Ibunya, dia menggema:
"puasa kita lebih lama,
apakah baju baruku
lebih bagus darinya?"


sang Ibu menjawab:
"mereka berpuasa karena perintah Tuhan
sementara kita memang tak bertemu dengan makanan"


satu anak mendapat baju barunya
satu anak melanjutkan kelaparannya

Andai Mayit Berpuisi


aku ucapkan terima kasih
kepada para romobongan
yang menghantarkanku pulang


di perjalanan antara rumah ke rumah
suara kalian menggema
sementara aku hanya bisa membisu


langkah kaki dan kepergian sendal
menjadi pertanda
bahwa dunia sudah merelakanku untuk tiada


kini aku bersiap
menghadapi sesi wawancara
dua orang panelis akan bertanya
enam pertanyaan sudah ada kisi-kisinya


satu saja salah
maka sia-sia
hidupku selama di dunia

Idzaa Maatabna Adam


Jika seorang anak Adam meninggal dunia, maka akan terputus amalnya di dunia kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakannya.


aku terbaring
dalam kesunyian panjang
yang gelap dan sesak


dalam dinding tanpa celah
yang memisahkan "sementara" dengan "keabadian"


semasa hidup
aku jarang memberi
baik rezeki yang kupindah tangankan
atau ilmu yang seharusnya kualirkan
semuanya tertahan dalam kekufuran
yang membuat jasadku tertimbun penderitaan


dalam kesukaran yang tiada henti
sepucuk cahaya menghampiri
memberikan bahagia dan kelapangan
dua malaikat menjadi pewarta
bahwa ini adalah perkara yang ketiga
yaitu doa-doa panjang
dari anak-anak
yang memohon pengampunan

Belum Pulang


Ibu memasak banyak-banyak
tetapi aku menyantap piring restoran


Ibu merapihkan ranjang kamar
tetapi aku berbaring di rumah orang


Ibu membeli sepasang sajadah
tetapi aku bersujud di kota seberang


Ibu menggemakan takbir malam-malam
tetapi kesunyian menyelimuti bibirnya


pagi setelah lebaran
Ibu duduk di depan halaman
fajar menyium keningnya
tanah-tanah memeluk kaki rapuhnya


sepasang kaki yang mengandung sorga
tahun ini kering dan tandus
sebab tidak ada yang membasuhnya


anak IBu tidak pulang
ia menetap di tanah perantauan
terombang-ambing dalam petualangan
yang menjauhkannya dari hangat pelukan

Aku Belum Memaafkanku


selepas memaafkan semua orang
aku berdiri di hadapan cermin
menatap dengan perlahan
seseorang yang belum sempat kumaafkan


pertama-tama
aku berterima kasih kepadanya
atas kesanggupannya untuk tetap hidup
lebih lama dan lebih rumit
dari yang pernah kubayangkan


aku bertanya pelan-pelan
"sejauh ini, apa yang kurang dariku?"
dengan nada mengayun, dia menjawab
"engkau, jarang sekali memperhatikanku"


dunia berhenti sejenak
air mataku mengalir
sama deras dengan air matanya


di depan cermin retak
kami menangis bersama-sama




Puisi ditulis oleh Thoriq Al Mahdi